Rabu, 24 September 2014

Tikus, Dasi dan Korupsi

Korupsi merupakan kejahatan tikus berdasi. ekstraordinary crime yang satu ini sangat sulit dihapuskan di bumi pertiwi ini. Kenapa dilakukan mereka yang notabene berpendidikan dan punya jabatan? Adakah cara efektif memberantasnya?

Semua orang pasti tahu binatang pengerat ini. Sebagian kita bahkan jijik melihatnya apalagi memegangnya. Hidupnya di sawah, saluran air, rumah, atap, got, tempat sampah dan tempat kotor lainya. Penyebar penyakit pes ini selalu menimbulkan kerugian bagi manusia. Hama bukan hanya bagi petani di persawahan, namun musuh ibu rumah tangga kerena mengotori makanan dan peralatan dapurnya. Binatang omnivora pemakan segala yang tidak hanya menyantap makanan manusia, kabel listrik pun di embat juga. Tergolong rakus dan suka dengan tempat gelap.

Dasi adalah asesori pelengkap seorang eksekutif, pejabat, karyawan, direktur, bahkan sopir bussway. Benda yang melingkar di leher ini memiliki daya pikat luar biasa. Dengan model yang casual bisa menjadikan seorang tampak trendy. Model simple membikin pemakainya kelihatan resmi. Memang dasi bisa jadi alat bunuh diri. Lilitkan saja dileher dan terjun bebas dari lantai sebelas hotel mewah dan berkelas. Namun kesan yang timbul dari orang berdasi adalah profesional, terdidik, dan berkantong tebal.

Korupsi dalam kamus besar bahasa indonesia ( KBBI ) adalah penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan dsb) untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Tentu saja kegiatan ini hanya bisa dilakukan setidaknya bagi orang yang memiliki wewenang, jabatan, atau posisi tertentu yang berhubungan dengan uang, baik secara langsung maupun tidak langsung, berhubungan dengan pelayanan publik, pembelian atau penjualan aset,dan posisi strategis lainya. Kalau ada kawan yang bilang, itu ladang " basah " yang selalu diperebutkan.

Seorang pejabat, birokrat, pegawai ataupun pekerja yang melakukan tindakan korupsi ini tak ubahnya seperti tikus berdasi yang senang mencari posisi. Menggerogoti sendi - sendi keadilan, kebenaran secara terselubung. Bermain di area gelap dan kotor. Orang seperti ini tak ubahnya tikus lagi makan kue milik orang lain yang bukan haknya. Kalau korupsi dilakukan pegawai atau pimpinan perusahaan swasta, maka yang pasti dirugikan adalah pemilik perusahaan.Namun jika pegawai negeri, pejabat negara yang berkuasa menyelewengkannya untuk kepentinga pribadi atau kelompok, tak ayal lagi rakyat jugalah yang akhirnya menderita. Uang yang seharusnya buat subsidi, bantuan rakyat miskin dan program pro rakyat lainya diembat ke kantong mereka.

Uang adalah materi di dunia yang sangat didewakan. Barang yang satu ini ibarat perawan, dia kembang desa yang selalu dikejar lelaki. Jabatan dan posisi juga menjadi incaran dan tak pernah sepi pelamar.Namun apakah yang terjadi disaat seorang telah mendapatkan posisi? Kenikmatan kedua yang dicari adalah uang yang berlimpah.Tak peduli menyalahgunakan jabatan, yang penting pundi bertambah. Tiada lagi sadar gaji yang diterima dari rakyat jelata, yang penting rupiah mengalir deras ke kantongya. Profesionalisme digadaikan, kekuasaan di selewengkan, jabatan jadi alat pengeruk harta.Korupsi bisa jadi jalan lain mendapatkan materi. Uang haram saja susah, gimana dengan uang halal, itu sekadar alibi dari mereka yang sudah gelap mata hati.

Pendidikan tinggi bukan jaminan menjadikan mentalitas dan moralitas bersih. Ternyata mereka inilah yang kemudian lebih banyak menggelapkan harta rakyat daripada orang berpendidikan rendah. Sifat dasar manusia yang rakus, tidak ditopang dengan iman yang kuat, membuat hati bisa goyah melihat tumpukan rupiah. Kembali lagi sistem pendidikan kita yang cenderung materialistik daripada spiritualistik sepertinya perlu dikaji. Pendidikan moral agama sepatutnya menjadi prioritas dari mulai awal periode pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi.

Sanksi hukuman yang ringan menjadi bagian dari mata rantai korupsi ini. Kumpulan tikus berdasi ini tidak pernah jera karena kawan lainya hanya dipenjara beberapa saat saja. Beberapa malah sempat tamasya ke luar negeri bahkan ogah balik ke indonesia lagi. Efek jera harus ada dalam pelaksanaan punishment ini. Jika perlu hukuman mati bagi koruptor kelas kakap patut dipertimbangkan. Potong tangan atau denda dua kali lipat dari hasil kegiatan korupsinya bisa jadi alternatif untuk membuat keder para koruptor. Tidak adil kalau maling ayam dihukum tiga bulan plus digebukin masa, sedang koruptor milyaran enak - enak tamasya ke luar negeri. Mereka harus dibasmi sampai ke akar - akarnya.

Pihak yang terkait dari mulai aparat penegak hukum hingga pengadilan hendaknya berkoordinasi dan bekerjasama membrantas tikus - tikus ini. Lembaga seperti Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK ) sepatutnya terus didukung dan diperkuat dengan instrumen Undang - Undang yang lebih baik lagi. Legislatif dalam hal ini DPR hendaknya kembali merumuskan kebijakan - kebijakan mengenai tindak pidana korupsi dan hukuman yang setara dan adil bagi para koruptor.

"Mereka yang berpakaian rapi, yang mengandalkan profesi, dan mereka yang selalu berdasi ternyata yang membodohi"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar