Ketika
memahami arti dari sebuah pendidikan maka tidak heran banyak orang
menafsirkannya sebagai sesuatu yang bisa dikatakan ujung tombak
kehidupan, senjata yang terus menjadi modal utama membangun perbaikan
diri ataupun menjadi sebuah kunci sukses suatu negara yang sangat
berharga untuk mengepakkan sayapnya menuju kemakmuran. Karena mulai dari pendidikanlah para pakar, ilmuan, ahli dan lain sebagainya lahir.
Hal
yang selalu diingat dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional pada pasal 11 ayat (1) yang menyatakan bahwa
“Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan
kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi
setiap warga negara tanpa diskriminasi”. Undang-undang
tersebut sangat jelas bahwa setiap warga negara yang ada harus
diberikan pendidikan tanpa nembeda-bedakan siapa si kaya ataupun si
miskin.
Namun
realita membuktikan lain, si kaya mendapatkan fasilitas pendidikan yang
super lengkap sesuai uang yang dikeluarkan, akan tetapi si miskin hanya
gigit jari tanpa bisa melakukan apa-apa. Pendidikan saat ini hanya
sebagai industri untuk mengeruk uang sebanyak-banyaknya. Hal
ini mengakibatkan terjadinya praktek jual-beli gelar, jual-beli ijasah
hingga jual-beli nilai. Belum lagi diakibatkan kurangnya dukungan
pemerintah terhadap kebutuhan tempat belajar, telah menjadikan tumbuhnya
bisnis-bisnis pendidikan yang mau tidak mau semakin membuat rakyat yang
tidak mampu semakin terpuruk.
Warisan
bangsa yang tidak diinginkan berupa masalah di berbagai sektor penting
di Indonesia dipandang sebagai dua hal yang berbeda, yaitu
ketidakmampuan pemerintah yang tidak bisa mengatasinya dan kepercayaan
yang harus diupayakan oleh kita dalam menyelesaikan masalah bangsa. Akar
masalah bangsa yang sudah tadi disebutkan adalah masalah pendidikan dan
butuh upaya real serta mengenai sasaran.
Mulai
dari masalah korupsi yang sudah mendarah daging. Upaya yang harus
dilakukan adalah sebuah transparansi dan pemantauan yang lebih ketat
oleh departemen pendidikan nasional terhadap anggaran pendidikan yang
sudah dialokasikan sebesar 20%. Aliran dana inilah yang sering mendapat
sorotan dari semua pihak-dalam kebenaran transparansi dananya-termasuk
juga pejabat yang ingin mendapatkan kepuasan lebih dari dana tersebut.
Karena fakta telah membuktikan bahwa korupsi yang sangat besat itu terjadi di institusi pendidikan seperti yang di jelaskan Indonesia Corruption Watch (ICW). “Korupsi
terjadi di semua tingkatan dari KemenDikNas, dinas pendidikan, hingga
sekolah” (ICW) “Dinas pendidikan telah menjadi institusi paling korup
dan menjadi isntitusi penyumbang koruptor pendidikan terbesar dibanding
dengan institusi lainnya.”
Menurut
ICW, terdapat dana sekitar Rp 852,7 miliar yang berpotensi
diselewengkan dalam pengelolaan anggaran Departemen Pendidikan Nasional
(Depdiknas). Febri salah seorang anggota ICW memaparkan, Depdiknas juga
dinilai gagal dalam mengelola anggaran pendidikan yang besar karena
laporan keuangan Depdiknas hanya bisa mendapat status opini Wajar Dengan
Pengecualian pada 2008 dari BPK.
Sementara
itu, Koordinator Divisi Monitoring Pelayanan Publik ICW Ade Irawan
memaparkan, tingginya dana yang berpotensi untuk diselewengkan tersebut
merupakan ironi di tengah meningkatnya anggaran pendidikan dan anggaran
Depdiknas.
Jadi mau tidak mau jika korupsi tetap menjamur khususnya di dunia pendidikan, maka Undang-Undang
No. 20 Tahun 2003 yang telah dibuat akan tetap menjadi undang-undang
busuk yang hanya menjadi hiasan peraturan negara.
Dalam
menyongsong Indonesia yang bermartabat, Indonesia yang sejahtera dan
Indonesia yang bisa memegang teguh untuk terciptanya keadilan di mata
rakyat dan Allah SWT, maka salah satu jalannya adalah dengan terus
mengedepankan kepentingan pendidikan dan masalah pendidikan menjadi
fokus utama semua pihak (mahasiswa, pemerintah, dan organisasi terkait)
sehingga kecerdasan bangsa dan kesejahteraan rakyat yang menjadi tujuan
kita bersama bisa lebih dekat untuk diraih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar